Senin, 25 Mei 2009

Orang Tua Vs Sekolahkan Bayinya

Puas ketika Anak Mulai Bisa Berdiri

Mengapa para orang tua menyekolahkan bayi-bayi mereka? Benarkah langkah tersebut benar-benar bermanfaat?

---

Simak saja penuturan Ririn Haryanti, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Wanita 35 tahun itu menceritakan anak bungsunya, Savero Taruma Wiatno, yang baru berumur 18 bulan. "Awalnya, dia pemalu banget," cetus Ririn. Jika bertemu orang yang baru dikenal, Savero selalu rewel dan menangis. "Kalau nggak gitu, ya dia tidak mau lihat orangnya," ujarnya.

Tak ingin Savero menjadi pribadi yang minder, Ririn mencari setumpuk referensi agar anaknya pede. Lantas, dia berinisiatif menyekolahkan kedua anaknya beberapa bulan lalu. Selain Savero, juga anak sulungnya, Devaro Syailendra Wiatno.

Sekolah yang dipilih adalah Tumble Tots. Di sekolah yang menempati lantai 5 Mal Ambasador tersebut, Ririn mengambil kelas dua kali seminggu untuk Savero. Yaitu, Rabu dan Jumat.

"Saya tidak ingin dia kelak merasa bosan ketika duduk di TK. Karena itu, saya ambil kelas dua kali seminggu," jelasnya. Kelas yang diambil adalah gymbabes. Kelas tersebut diperuntukkan bayi berusia 6-12 bulan atau yang belum bisa berjalan.

Kelas itu dia anggap pas untuk Savero yang belum lancar berjalan. Di sekolah tersebut, Ririn menyatakan bahwa Savero belajar banyak hal. Selain bersosialisasi, sekolah itu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Imbasnya, si anak sedikit bisa bercuap-cuap dalam bahasa Inggris. "Dia mulai bisa berhitung. One, two, three, four, meski kadang tidak urut," ungkapnya.

Savero juga mendapatkan banyak pelajaran. Antara lain, belajar rolling, merangkak, berjalan menjaga keseimbangan, bernyanyi, dan berhitung. Hasilnya, sebulan setelah mengikuti kelas tersebut, dia mulai menunjukan perkembangan.

Paling tidak, papar Ririn, Savero tak lagi menjadi anak pemalu. Ketika disapa orang tak dikenal, dia berani merespons. Yang paling menyenangkan Ririn, buah hatinya itu mulai lancar berjalan. "Dulu, sebelum sekolah, dia sudah bisa berjalan, tapi tertatih. Sekarang dia sudah berani sendiri," ungkapnya.

Sebab, lanjut dia, di kelas itu tersedia begitu banyak mainan yang dapat merangsang saraf motorik bayi. "Seminggu ini, kami sudah berani lepas dia untuk jalan," ucapnya. Alhasil, Savero dinyatakan bisa naik ke level pendidikan selanjutnya, kelas walk 2. Itu merupakan kelas untuk bayi yang sudah bisa jalan hingga usia dua tahun. "Saya senang sekali," ujarnya.

Jovan Hardjono, 11 bulan, adalah potret lain anak yang merasakan manfaat mengenyam pendidikan sejak dini. Kendati baru sebulan ikut kelas di Tumble Tots, perubahan perilaku mulai ditunjukan bayi kelahiran 21 Juni 2008 itu.

Sinta Handayani, 40, sang ibu, mengungkapkan alasannya menyekolahkan si baby. Tujuan dia, Jovan mudah bersosialisasi. "Saya ingin Jovan cakap dalam berkomunikasi," terangnya.

Pukul 13.00 Jumat lalu (8/5), Jovan berlatih motorik di kelas Tumble Tots. Di atas matras empuk berukuran 1,5 x 2 meter, dia merangkak dan mengejar bola yang mengelindng di depannya. Bola tersebut ditangkap, kemudian digelindingkan lagi. Lelah mengejar bola, dia belajar jalan di atas papan kayu yang sudah disiapkan. Handayani membimbingnya meniti papan tersebut. Free play atau bermain bebas adalah sesi pembuka kelas gymbabes.

Kini Jovan yang semula hanya bisa merangkak mulai bisa berdiri. "Dia juga sering minta dibimbing untuk jalan. Selain itu, dia tidak lagi penakut," tambah dia. Perubahan-perubahan tersebut membuat Handayani puas menyekolahkan buah hatinya. (jawa pos/rkm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar