Sabtu, 27 Juni 2009

Cerbung Sunan Sawangan (4)

Melihat Ka’bah

Sepertinya, tak ada lagi yang bisa menengahi ratusan orang marah. Berdiri berhadapan dan siap serang.
Mata nanar saling tatap tajam. Kadang ujung senjata saling adu di udara. Suara gemerincing pertemuan ujung senjata bergema di masjid.
Seorang makmum yang baru menyelesaikan zikirnya, bangkit dari duduk. Berjalan dan membelah di antara bertemunya dua ujung senjata. Tanpa rasa takut.
Rambut ikal cenderung kriting diikat seperti sanggul ke atas. Baju hitamnya, dicopot dan disampirkan di pundak kirinya.
“Podo muslime haram ngutahno getih. Luwih-luwih nang njerone mesjid. Sing mateni karo sing dipateni podo mlebu nerokone. Mosok lali pituture Kanjeng Nabi. (Sesama muslim haram menumpahkan darah. Lebih-lebih di dalam masjid. Yang membunh dan yang dibunuh sama-sama masuk neraka. Masak lupa nasehat Kenjeng Nabi),” teriak dia.
“Yo konco kabeh. Ora usah muring-muring, getih nglumpuk nang mbun-mbunan. Muring-muringmu kuwi dudu nahi munkar, dudu amar ma’ruf. Kuwi gudone setan burik!
Monggo podo istighfar. Monggo podo didekek gamane, watune, pethile.(Ya,teman semua. Tidak usah marah-marah, darah naik di ubun-ubun. Marah kalian itu bukan nahi munkar, bukan amar ma’ruf. Itu godaan setan burik!) ”
Tetapi, dua kubu yang berhadapan itu, tak satupun meletakkan senjatanya. Mereka tidak mau kecolongan. Jika meletakkan senjata, menjadi makanan empuk serangan lawan.
“Hei wong gendheng! Jangan ikut-ikut. Ini demi kebaikan semua,” teriak seseorang dari salahsatu kubu.
“Ora eneng critane, tumindak olo digawe kebagusan. Olo yo olo, bagus yo bagus, ora iso dicampur-campur! (Tidak ada ceritanya, tindakan buruk untuk kebaikan. Jelek ya jelek, bagus ya bagis, tidak bias dicampir aduk!)” balas si Gendheng.
“Semene akehe wong, sing ngerti masalahe mung pirang driji. Ojo ngejak wong akeh mlebu neroko. Athek pancen pingin tarung utowo sabung, sopo wae wonge, mengko tak ladeni nang mburine mesjid. Ojok padu nang njerone mesjide Kanjeng Sunan Ampel! Sing melok-melokan, monggo gamane didekek!(Sekian banyak orang, yang tahu masalahnya hanya beberapa jari. Jangan mengajak orang banyak masuk neraka. Kalau memang ingin bertanding atau berkelahi, siapa saja orangnya, nanti saya layani di belakang masjid. Jangan berkelahi di dalam masjidnya Kenjeng Sunan Ampel! Yang ikut0ikutan, silahkan senjatanya ditaruh!).”
“Athek kowe kabeh pingin ngerti ngendi kiblat sak benere, aku iso ndudukno! Tapi kowe kabeh ojo padu lan pecohan nang mesjid. Athek kepingin tarung, mungsuh aku wae, mengko tak enteni nang mburine mesjid.(Kalau Anda semua pingin tahu mana kiblat sebenarnaya, saya bias menunjukkan! Tapi kalian semua jangan berkelahi di masjid. Kalau ingi berkalahi melawan saya saja, nanti saya tunggu di belakang masjid).”
Semua senyum sinis. “Dasar wong gendheng!”
Tak menghiraukan cemooh yang bersaut-sautan, dia menuju ke satu dinding masjid Ampel.
Jari telunjuk kanannya membuat garis lingkaran di dinding itu.
“Duar!” suara menggelegar layaknya petir muncul, ketika kepalan tangan kanannya menghantam dalam lingkaran itu. Semua kaget dan terdiam.
Dinding ambrol berbentuk lingkaran.
Meski berlubang lingkaran, yang tampak bukan halaman belakang masjid. Tetapi, nun jauh di sana, lamat-lamat terlihat sekecil semut orang-orang tawaf mengelilingi Ka’bah, yang terlihat sekecil klungsu (biji asem).
Arah kiblat tak berubah. Persis seperti arah mihrab lama. Persis seperti arah yang dipakai Kanjeng Sunan Ampel.
Semua orang di dalam masjid takjub.
“Allahu Akbar!”
Takbir bergema bersaut-sautan.
Mereka berdesak-desakan ingin melihat dari dekat.
Orang itu ngeloyor keluar masjid, menuju halaman belakang. Menunggu tantangan sabung. rkm/serb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar