Kamis, 11 Juni 2009

Penurunan Produksi Pangan Indonesia pada 2050

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Indonesia akan menghadapi masalah serius dalam bidang pertanian yaitu penurunan produksi pangan strategis hingga 27,1 persen pada 2050 sebagai dampak nyata dari perubahan iklim. "Menurut studi yang kami lakukan, perubahan iklim hanyalah satu dari sekian banyak faktor pendukung masalah besar yang akan dihadapi sektor pertanian dan ekonomi pangan Indonesia, yaitu semakin menyempitnya sawah dan menurunnya produksi pertanian," kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Prof Dr Bustanul Arifin di Bandarlampung, Selasa (19/5).

Pernyataan tersebut disampaikannya dalam seminar nasional bertema "Bioteknologi untuk pembangunan pertanian", yang terselenggara atas kerja sama Universitas Lampung dengan Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia. Ia mengatakan sejumlah masalah dan tantangan yang akan dihadapi pertanian dan ekonomi pangan di Indonesia adalah perubahan iklim, krisis ekonomi global, dan perubahan struktur penanaman pangan.

"Itu belum ditambah dengan faktor internal dari dalam negeri kita sendiri yang menjalankan politik pertanian tanpa komitmen," katanya. Contoh yang paling jelas, menurut dia, terlihat dari data bank dunia tentang anggaran perbaikan infrastruktur pertanian Indonesia saat ini yang merupakan angka paling rendah di Asia.

Indonesia, kata dia perlu mulai menanggapi serius usulan tentang penggunaan bioteknologi modern sebagai pijakan kebijakan untuk mengantisipasi atau meminimalisaasi masalah pertanian di masa datang. "Upaya penelitian yang dilakukan perguruan tinggi selama ini sudah saatnya diadopsi secara serius," katanya.

Upaya serius tersebut, menurut dia dapat ditunjukan dengan melakukan beberapa langkah. "Pemerintah tinggal mengambil keputusan, apakah bioteknologi dapat dijadikan salah satu solusi masalah pertanian Indonesia di masa datang atau tidak. Artinya, kalau tidak, harus dicari solusi dan pemecahan lainnya untuk mengatasi masalah tersebut," katanya.

Langkah pertama yang dilakukan, menurut dia adalah melakukan penelitian nyata dan pengkajian serius terhadap temuan-temuan baru bioteknologi.
"Artinya, perlu diteliti langsung penggunaannya di tingkat petani, apakah bibit hasil transgenik tersebut betul-betul dapat digunakan dengan kondisi alam yang nyata atau tidak, bukan dengan kondisi alam artifisial di lembaga penelitian," katanya.

Setelah itu, pemerintah juga perlu melakukan langkah penting lainnya, yakni mengkaji tentang kesiapan psikologis petani Indonesia dengan perubahan sistem dan pola pertanian dengan basis bioteknologi dibandingkan dengan pola lama, yaitu pertanian organik. "Strategi dan komunikasi terhadap petani menjadi sangat penting di faktor ini, mulai dari masalah kejelasan batas atas maksimum komponen transgenik yang dianggap aman, hingga jaminan tentang keamanan pemanfaatan produk rekayasa genetika atau bioteknologi secara umum," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar